Powered By Blogger

Jumat, 23 April 2010

Tugas Pembuatan Web Virtual Class. B

1. PENDAHULUAN
Para awal mula penerapan e-Learning yaitu
pada saat memanfaatkan piringan disk untuk
menyampaikan materi melalui video, banyak orang
berpendapat bahwa e-Learning mirip dengan
televisi. Kemudian setelah itu, orang-orang yang
belum pernah memiliki pengalaman dengan media
interaktif sebelum Internet menyebar luas
mengatakan bahwa e-Learning mirip dengan
halaman web, yaitu penuh dengan text (Downes,
2005).
Saat ini, mulai banyak yang tertarik untuk
mengimplementasikan konsep Virtual Classroom
(VC). VC merupakan sebuah konsep yang
kontradiktif dibanding dengan proses pembelajaran
secara konvensional, yaitu mengeliminasi
keberadaan kelas secara fisik (Donath, 2008).
Pada pengimplementasian konsep VC, dampak
buruk akan terjadi ketika desainer sistem dan
pengajar mengimplementasikan konsep yang terlalu
mirip dengan model pembelajaran kelas
konvensional dan gagal untuk mengenali bahwa
konsep VC ini adalah sebuah situasi hi-tech yang
membutuhkan pemikiran ulang terhadap proses
pembelajaran itu sendiri. Pada kondisi seperti ini,
mustahil bagi desainer sistem maupun pengajar
untuk memanfaatkan semua potensi dari penerapan
VC (Clark, 2008).
Setiap orang selalu berusaha untuk melakukan
banyak hal dalam waktu yang singkat melalui
pemanfaatan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi (TIK). Banyak pihak
telah mengembangkan model pembelajaran dengan
membuat materi yang bisa dipelajari secara mandiri
melalui Internet, LMS, atau CD-ROM. Saat ini,
konsep tersebut kita kenal dengan asynchronous e-
Learning. Konsep VC menawarkan kesempatan
yang lebih menjanjikan untuk melakukan
kolaborasi, koneksi, akses terhadap informasi,
visualisasi yang menarik, dan mendorong pihakpihak
yang terlibat untuk lebih produktif dan lebih
cepat dalam memahami suatu pengetahuan.
Walaupun asynchro-nous e-Learning masih relevan
untuk diterapkan saat ini, konsep VC mampu
menyediakan beberapa opsi yang lebih menarik jika
diimplementasikan dengan pendekatan yang tepat
(Marie, 2009)..

2. PEMILIHAN MEDIA
Salah satu potensi masalah yang dapat muncul
di lingkungan synchronous e-Learning adalah
instruktur merasa harus memberikan instruksi secara
verbal setiap saat pada keseluruhan proses
pembelajaran (Marie, 2009). Padahal, tidak semua
bagian dari proses pembelajaran itu harus disertai
dengan instruksi dari pengajar, ada kalanya para
pembelajar memerlukan waktu berpikir dan suasana
yang tenang untuk melakukan beberapa hal secara
mandiri, misalnya memahami suatu bacaan atau
mengerjakan suatu tugas. Pengajar dapat
mewujudkan suasana tersebut dengan tidak
memberikan instruksi atau menyampaikan materi
secara terus-menerus. Proses asynchronous e-
Learning yang dilaksanakan tanpa adanya
kebutuhan terhadap intruksi dari pengajar juga dapat
memberikan ketenangan tersebut Dalam hal ini,
pemilihan media sangat penting sebagai sebuah
pemikiran terhadap materi atau content instruksional
dan metode mengajar yang diinginkan, serta
membuat sebuah keputusan desain yang
fundamental, yaitu menentukan apakah lebih tepat
menggunakan media penyampaian secara synchronous
atau asynchronous.
Banyak hal buruk yang mungkin ditemui pada
pemilihan pendekatan secara synchronous. Ketika
diimplementasikan dengan tidak hati-hati, VC bisa
jadi malah memunculkan aspek negatif yang kita
temui pada kelas konvensional maupun pada media

yang bersifat asynchronous. Pada kasus tersebut,
yang muncul adalah tahapan-tahapan pada proses
pembelajaran terlalu berorientasi pada instruktur
atau pengajar seperti yang terjadi pada kelas fisik.
Hal ini akan menyebabkan para pembelajar menjadi
bosan. Selain itu, para pembelajar bisa merasa tidak
diperhatikan oleh instruktur atau pengajar.
VC sebagai sebuah proses yang bersifat
synchronous, membutuhkan sekumpulan resource
yang berbeda dibandingkan dengan konsep e-
Learning yang terdahulu (Braman, 2008). VC
membutuhkan adanya pengajar yang terjadwal dan
semua pembelajar pada saat yang bersamaan.
Dibandingkan dengan kelas konvensional, VC
membutuhkan adanya resource teknologi dan
resource yang bersifat psikologis baik dari pengajar
maupun dari para pembelajar.
Meskipun konsep VC hadir sebagai sebuah
media baru yang bisa menghemat biaya perjalanan,
adanya pemisahan antara pengajar dan pembelajar
juga menyebabkan adanya dampak negatif, yaitu
kurangnya kontrol terhadap sikap para pembelajar
selama proses pembelajaran. Untuk mengatasi hal
tersebut, dibutuhkan adanya pemilihan media dan
teknik yang tepat dalam pengimplementasian konsep
VC.
Untuk menentukan apakah situasi mengajar
yang akan dilaksanakan itu sesuai atau tidak jika
dilakukan dengan mengimplemen-tasikan VC, kita
harus memahami terlebih dahulu karakteristik synchronous
e-Learning jika dibandingkan dengan
model pembelajaran yang lain. Hal ini ditunjukkan
pada gambar 1.
Gambar 1. Posisi Synchronous e-Learning (Hyder,
2007)
Pada kenyataannya, synchronous e-Learning
memiliki lebih banyak kemiripan dengan kelas
konvensional dibandingkan dengan asynchronous e-
Learning lama yang memiliki instruksi sangat
minim. Pada penerapan synchronous e-Learning
maupun asynchronous e-Learning banyak ditemui
kelebihan maupun hambatan secara teknis, tetapi
adanya antarmuka yang konsisten merupakan
sebuah investasi yang sangat berharga dan efisien
dimana hal tersebut tidak ditemukan pada
asynchronous e-Learning (Donath, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi media apa
yang tepat untuk digunakan terdiri dari 2 (dua)
kategori, yaitu faktor logis dan faktor edukatif.
2.1 Faktor Logis
Bagi pembelajar yang tersebar, penyampaian
materi dengan memanfaatkan media elektronik
dirasa lebih murah dan lebih cepat dibandingkan
dengan kelas konvensional. Namun pada dasarnya
media elektronis lebih mahal untuk diproduksi.
Sehingga, penerapan e-Learning tidak tepat jika
diterapkan pada sejumlah kecil pembelajar pada
tempat yang sama, kecuali jika mereka tidak bekerja
pada saat yang sama. Situasi ini akan lebih tepat jika
menggunakan konsep asynchronous e-Learning,
tergantung pada topik yang akan disampaikan.
Gambar 2 menunjukkan diagram perbandingan
biaya desain (design), pengembangan (develop), dan
penyampaian (delivery) pada beberapa metode
pembelajaran.
Gambar 2. Biaya relatif pada beberapa metode
pembelajaran tergantung pada tingkat kreasi dan
produksi (Hyder, 2007).
Pada gambar 2 ditunjukkan bahwa kelas
konvensional lebih murah untuk didesain dan
dikembangkan, tapi mahal untuk diterapkan pada
pembelajar yang sangat banyak dan tersebar karena
membutuhkan perjalanan, fasilitas, dan instruktur.
Asynchronous e-Learning membutuhkan biaya yang
mahal pada tahapan desain dan pengembangannya,
namun memerlukan biaya yang sedikit bahkan gratis
pada tahapan penyampaian materi. Synchronous e-
Learning memiliki posisi di tengah-tengah, yaitu di
antara kelas konvensional dan asynchronous e-
Learning.
Keuntungan pragmatis yang dapat diperoleh
pada media yang difasilitasi dengan intruksi adalah
terselesaikannya proses pelatihan atau pembelajaran
(Richardson, 2008). Ketika instruktur atau pengajar
mengawasi, para pembelajar akan termotivasi untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya. lebih banyak
kegagalan (tingginya angka dropout) pada proses
pembelajaran yang menggunakan metode asynchronous
e-Learning jika dibanding-kan dengan
proses pembelajaran yang menerapkan synchro--
nous e-Learning. banyak pihak mengantisipasi hal

tersebut dengan melaporkan perkembangan para
pembelajar kepada orang tua atau supervisor
mereka.
Masalah yang sering muncul dalam suatu proses
pembelajaran adalah para pembelajar tidak mampu
mengelola waktu dan memproses informasi secara
mandiri. Konsep VC sangat tepat diimplementasikan
untuk mengatasi hal tersebut selama materi yang
disampaikan cukup menarik dan memikat, sehingga
para pembelajar akan merasa lebih diperhatikan dan
termotivasi untuk memahami materi yang
disampaikan
2.2 Faktor Edukatif
Terselesaikannya proses pembelajaran yang
efektif dari segi biaya bisa jadi tidak menghasilkan
apa-apa jika para pembelajar tidak menunjukkan
adanya perubahan perilaku sebagai hasil dari
pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersbut, kita
bisa melihat pembenaran dari sudut pandang yang
bersifat edukatif terhadap berbagai macam media
penyampaian materi pada proses pembelajaran
seperti ditunjukkan pada gambar 3. Gambar 3
memberikan gambaran atribut-atribut yang menjadi
karakteristik pada penyampaian materi yang
berbasis komputer (computer delivered) dan
lingkungan yang terkendali melalui instruksi
(Instructor-Led Environtments). Semua atribut
tersebut muncul pada synchronous e-Learning.
Gambar 3. Synchronous e-Learning memiliki atribut
yang beragam, tergantung pada sistem penyampaian
materinya (Hyder, 2007).
a. Social presence
Social precense adalah perasaan nyaman yang
muncul pada interaksi sosial yang dilakukan oleh
orang-orang secara nyata (hadir secara fisik)
misalnya ketika orang saling berjabat tangan,
membicarakan suatu topik masalah, dan lain-lain
(Downes, 2005). Pada pengimplementasian VC,
tetap akan muncul social presence tersebut
meskipun interaksi dilakukan secara virtual.
Walaupun demikian, tentunya social presence akan
jauh lebih tampak pada proses pembelajaran melalui
kelas konvensional.
b. Cognitive load
Cognitive load menunjukkan seberapa besar
kinerja mental ketika memori otak jangka pendek
bekerja untuk memproses informasi (Richardson,
2008). Tiap orang hanya dapat mengingat sejumlah
informasi yang terbatas tanpa adanya latihan atau
alat bantu, misalnya dokumentasi. Pada
pembelajaran yang terkendali melalui instruksi
(Instructor-Led), pengajar sebagai presenter
menampilkan materi pembelajaran sekaligus
melakukan kontrol pada tiap tahapan instruksi. Hal
ini berkebalikan dengan yang terjadi pada
pembelajaran yang berorientasi pada pembelajar
(learner-driven) ketika pembelajar hanya membaca
atau mengikuti proses asynchronous e-Learning
maka pembelajar tersebut dapat memilih menu
pause, replay, continue, dan sebagainya. Pada
pembelajaran yang menggunakan media terkendali
oleh pengajar terdapat resiko munculnya cognitive
load (atau bahkan cognitive overload) karena
kemampuan dari masing-masing pembelajar yang
berbeda-beda.
Asynchronous e-Learning memungkinkan
pembelajaran individu secara mandiri. Pembelajar
dapat mempelajari materi sendiri, mengulang sesi
maupun mengulang pembelajaran secara
keseluruhan. Pembelajar dapat memanfaatkan
fasilitas remediasi, kosa kata istilah, dan sebagainya
yang itu semua tergantung pada desain sistem
pembelajaran itu sendiri. Asynchronous e-Learning
menjadi pilihan yang tepat untuk diterapkan bagi
para pembelajar yang heterogen atau berbeda level
pengetahuan terhadap materi yang harus dipelajari.
metode ini juga menyediakan opsi pengayaan atau
latihan individu yang dapat mendorong pembelajar
untuk memahami materi dengan cepat dan akurat,
atau bisa juga menampilkan materi dengan
memanfaatkan animasi video atau simulasi (Clark,
2008).
c. Visualisasi
VC sangat berkaitan erat dengan visualisasi
grafis, baik berupa gambar, animasi, maupun video.
Visualisasi grafis sangat diperlukan untuk
membantu para pembelajar dalam memahami materi
yang disampaikan dengan cara yang lebih menarik
dan tidak membosankan. Jika instruktur atau
pengajar hanya dapat membuat materi berupa text
baik itu dokumentasi maupun halaman web, dia bisa
melengkapi dengan menambahkan sesi tanya jawab
pada VC yang diselenggarakan.
d. Tipe Interaksi
Tipe interaksi pada pengimplementasian VC
akan dijelaskan kemudian di bagian lain tulisan ini.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa VC hanya
akan berjalan dengan efektif jika pengajar
menerapkan interaksi yang relevan (berbasis
penugasan) secara berkesinambungan (Braman,
2008). Tanpa adanya hal tersebut, maka proses
pembelajaran hanya akan sama dengan
pembelajaran melalui kelas konvensional yang

membosankan dan para pembelajar akan sibuk
sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan materi yang
disampaikan.
Beberapa materi pembelajaran tidak cocok jika
disampaikan melalui jarak jauh, misalnya materimateri
yang berkaitan dengan olah raga atau seni.
Pembelajar tidak akan mampu memperoleh
pemahaman yang optimal jika hanya melihat
visualisasi materi tanpa adanya latihan secara nyata.
2.3 Solusi Campuran
Penugasan yang bersifat kolaboratif dapat
membantu dalam pemecahan masalah pada
pembelajar yang heterogen dengan mengijinkan
pembelajar yang lebih cerdas untuk membantu
pembelajar lain yang kuang memahami materi.
Namun scara umum, pada VC ditemukan kesulitan
dalam menangani pembelajar yang berbeda-beda
level pemahamannya dengan penugasan yang
kompleks yang membutuhkan banyak waktu bagi
pembelajar untuk berpikir. Hal ini yang
melatarbelakangi terkadang pengajar menerapkan
solusi campuran (blended solutions) dengan
melakukan pemilihan media yang terbaik untuk tiap
topik atau sesi pembelajaran (Holub, 2008).
Gambar 4 menunjukkan proses pembelajaran di
mana instruktur atau pengajar mengadakan sesi
virtual untuk berinteraksi dengan pembelajar
kemudian membiarkan pembelajar untuk belajar
secara mandiri dan selanjutnya bertemu kembali
secara online dalam sebuah sesi virtual. Dalam kasus
ini, pembelajaran secara mandiri dilakukan di antara
dua sesi virtual.
Gambar 4. Solusi Campuran yang
mengkombinasikan antara Synchronous e-Learning
dan proses belajar mandiri secara offline
(Clark, 2008).
Solusi campuran dapat diwujudkan dalam
banyak sekali variasi proses pembelajaran ergantung
dari kreativitas pengajar dan keterbatasan resources
yang dimiliki.
3. INTERAKSI
Interaksi adalah elemen penting dalam
penngimplementasian VC. Namun yang dimaksud
dengan interaksi di sini bukanlah interaksi antar
orang melainkan interaksi antara pembelajar dengan
materi (content) (Hyder, 2007). Pada VC, pengajar
mengendalikan dan mengontrol interaksi tersebut,
namun tidak seperti yang terjadi pada kelas
konvensional. Pembelajar hadir untuk berinteraksi
dengan materi (content). Dengan waktu yang
terbatas, pengajar harus mampu memastikan bahwa
pembelajar dapat memahami materi (content) yang
disampaikan.
3.1 Frekuensi Interaksi
Melakukan interaksi merupakan salah satu hal
terpenting yang bisa kita lakukan pada suatu proses
pembelajaran. Adanya partisipasi yang dilakukan
sesering mungkin akan dapat mencegah pembelajar
menjadi bosan dan hilang kontrol terhadap materi.
Pengajar bisa hanya dengan memanggil nama para
pembelajar untuk mengkondisikan para pembelajar
merasa diawasi dan diperhatikan. Jika pengajar ingin
mengevaluasi tingkat partisipasi pembelajar selama
proses pembelajaran, instruktur atau pengajar dapat
mengkaitkan materi dengan project atau penugasan
yang melibatkan berbagai macam individu dari
pihak pembelajar.
3.2 Fasilitas Untuk Berinteraksi pada Virtual
Classroom
VC menawarkan banyak sekali peluang untuk
berinteraksi. Pada kenyataannya, tugas atau diskusi
bisa dilakukan secara lebih mudah pada VC
dibandingkan pada kelas konvensional yang
mungkin membutuhkan penataan ulang meja dan
lain sebagainya. Gambar 5 menunjukkan berbagai
macam tools yang bisa digunakan untuk berinteraksi
dalam VC atau metode – metode synchronous e-
Learning lainnya.
Gambar 5. Synchronous e-Learning menyediakan
berbagai macam fasilitas respons yang bersifat
interaktif (Hyder, 2007)
3.3 Interaksi Individual
Interaksi yang terjadi pada sebuah VC bisa
berarti interaksi antara pembelajar dengan instruktur
atau pengajar, interaksi antara pembelajar dengan
materi (content), partisipasi pembelajar pada sebuah

sesi diskusi, atau kolaborasi antar pembelajar itu
sendiri. Selanjutnya akan dibahas tools atau sarana
yang dapat mengakomodasi berbagai macam
interaksi di atas dimulai dari interaksi antara
pembelajar dengan instruktur atau pengajar dan
materi (content) yang disampaikan (Richardson,
2008).
a. Polling
Penerapan polling pada sebuah VC dapat
dilakukan dengan membuat soal-soal pilihan ganda
(multiple choice) yang hanya membutuhkan jawaban
benar atau salah tanpa memerlukan penjelasan dari
jawaban yang dipilih. Soal-soal pilihan ganda juga
bisa dibuat dengan dilengkapi oleh visualisasi grafis.
Beberapa tools menampilkan respons atau jawaban
pembelajar secara anonymous dan beberapa tools
yang lain dapat menampilkan nama pembelajar yang
memberikan jawaban.
b. Chat
Chatting juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana
berinteraksi pada sebuah VC. Dalam
implementasinya, pengajar sebisa mungkin harus
membuat pertanyaan yang dapat dijawab pembelajar
dengan jelas. Respons atau jawaban melalui chat
tidak bersifat anonymous karena nama pembelajar
akan terlihat bersama dengan jawaban mereka
masing-masing. Untuk menghindari adanya
kecurangan yaitu pembelajar hanya mengetikkan
jawaban yang sama dari pembelajar lain yang sudah
mengirimkan jawaban, pengajar dapat
mengintruksikan pembelajar untuk mengirimkan
jawaban hanya setelah diberi instruksi oleh
pengajar.
Kemampuan chat cukup bervariasi dari tool yang
satu dengan tool yang lain. JIka tool mengijinkan,
pembelajar juga dapat mengirimkan pertanyaan
kepada pengajar. Yang perlu diperhatikan adalah
pada saat chatting para pembelajar tidak boleh
melakukan pembicaraan di luar topik materi yang
disampaikan, misalnya bersenda gurau dan
sebagainya.
Dengan banyaknya pembelajar yang terlibat,
chat bisa cukup merepotkan karena respons atau
jawaban dari para pembelajar akan muncul dengan
cepat sehingga membingungkan pengajar. Hal ini
bisa diatasi dengan membuat kelompok-kelompok
(group) pembelajar sehingga proses chatting dapat
berjalan dengan lebih terorganisir.
c. Whiteboard
Whiteboard adalah area pada layer di mana
instruktur menampilkan slide PowerPoint dari
materi yang disampaikan ke pembelajar. Pada VC,
para pembelajar dapat memberikan respons pada
waktu yang bersamaan jika pengajar memberikan
kesempatan. Pembelajar dapat mengetikkan
komentar, menggambar garis, melingkari item-item
tertentu, dan lain-lain. Gambar 6 menunjukkan
contoh salah satu interaksi pada VC yang dilakukan
melalui media whiteboard. Pada gambar tersebut
tampak bahwa pembelajar memberikan respons
dengan menuliskan komentar setelah melihat
tayangan video yang disampaikan oleh instruktur
atau pengajar.
Gambar 6. Contoh aktivitas dari pembelajar dengan
menuliskan komentar pada whiteboard setelah
melihat tampilan sebuah video (Braman, 2008).
d. Audio
Pada VC, pengajar dapat meminta pembelajar
untuk saling berebut dalam memberikan respons
baik bertanya sesuatu atau menjawab pertanyaan.
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan icon
(pada kelas konvensional dilakukan dengan cara
mengacungkan jari) kemudian pembelajar tersebut
menyampaikan respons melalui audio. Beberapa
sistem mengijinkan banyak respons yang
disampaikan pada saat yang bersamaan (multiple
speakers) sedangkan beberapa sistem yang lain
hanya mengijinkan satu respons saja yang dapat
disampaikan. Pendekatan yang terbaik adalah
dengan membatasi hanya satu orang saja yang dapat
menyampaikan respons. Penggunaan tool audio
memungkinkan instruktur atau pengajar dapat
mendengar suara pembelajar secara nyata dalam
memberikan respons dan juga sangat tepat untuk
mendapatkan jawaban pembelajar yang lebih
panjang dan terperinci. Namun berkebalikan dengan
polling maupun whiteboard yang mengijinkan
adanya interaksi dari banyak pembelajar, tool audio
hanya mengijinkan adanya satu respons saja yang
bisa disampaikan. Tingkat keefektifan penggunaan
tool audio sangat tergantung dari pengajar itu sendiri
dibandingkan desainer sistem yang membuat sistem
VC tersebut.
e. Icon
Pada pelaksanaan VC, instruktur atau pengajar
dapat memotivasi pembelajar untuk menjaga
partisipasi mereka dalam interaksi dengan
mengajukan pertanyaan atau menyampaikan
jawaban sebagai sebuah bentuk respons. Namun ada
cara lain bagi pembelajar untuk memberikan respons
dalam interaksi yang terjadi pada VC, yaitu dengan
menggunakan icon. Hal ini bisa dilakukan misalnya
pengajar memerintahkan pembelajar untuk menekan
icon tertentu setelah menyelesaikan bacaan atau
pembelajar diminta untuk menekan icon yang lain
jika sudah siap untuk mengerjakan soal latihan, dan

sebagainya. Sebagian besar perangkat lunak VC
telah menyertakan fasilitas icon sebagai alternatif
bagi pembelajar untuk menyampaikan respons
sebagai bentuk partisipasi mereka dalam proses
pembelajaran yang dilaksanakan.
f. Application Sharing
Melalui sharing aplikasi, pengajar dapat
menjalankan sebuah aplikasi di komputernya dan
mengijinkan pembelajar untuk mengoperasikannya
dari komputer pembelajar itu sendiri. Namun, hanya
satu pembelajar saja yang dapat berpartisipasi
(mengoperasikan aplikasi tersebut) pada saat yang
bersamaan. Melalui sharing aplikasi, instruktur juga
dapat menampilkan materi asynchronous e-Learning
atau apapun yang bisa dijalankan pada komputer
instruktur.
3.4 Mengoptimalkan Partisipasi
Seperti telah dijelaskan di atas, pada pelaksanaan
VC terdapat interaksi yang mengijinkan banyak
pembelajar berinteraksi secara simultan dan ada juga
interaksi yang hanya mengijinkan satu pembelajar
saja yang bisa berpartisipasi. Pada pelaksanaannya,
VC harus mampu mencegah timbulnya sikap malas
para pembelajar dan juga sebisa mungkin mencegah
timbulnya kegaduhan pada proses pembelajaran. Hal
ini bisa dilakukan dengan menghindari diskusi kelas
ataupun tugas kelompok dengan anggota yang
terlalu banyak.
Untuk mengoptimalkan partisipasi dari para
pembelajar, instruktur harus memilih pertanyaan
atau penugasan yang akan disampaikan kepada
pembelajar. Pengajar juga harus mampu
menunjukkan perhatian dan konstrol terhadap para
pembelajar dengan memberikan instruksi dan
pertanyaan yang jelas kepada para pembelajar. Yang
perlu ditekankan adalah bahwa pengajar harus
mampu mengakomodasi hak-hak pembelajar untuk
berpartisipasi dalam interaksi yang terjadi pada
pelaksanaan VC. Dengan kata lain, pelaksanaan VC
harus bersifat demokratis dengan kendali utama
tetap ada pada pengajar.
3.5 Kolaborasi
Aspek demokrasi atau penghargaan terhadap hak
pembelajar untuk berpartisipasi dalam interaksi pada
pelaksanaan VC dapat diwujudkan dengan
memberikan penugasan atau project yang bersifat
kolaboratif. Penelitian menunjukkan bahwa pada
aktivitas pembelajaran yang terstruktur, pembelajar
dapat mendapatkan pemahaman lebih banyak
melalui kolaborasi dalam sebuah kelompok
dibanding jika hanya belajar mandiri secara individu
(Braman, 2008). Walaupun untuk mewujudkan
kolaborasi dalam sebuah VC memerlukan teknik
yang tidak mudah, namun kolaborasi tersebut akan
dapat memberikan social presence seperti yang
muncul pada pembelajaran dengan kelas
konvensional. Dan hal ini tentunya akan lebih
membantu para pembelajar selalu termotivasi untuk
memberikan partisipasi mereka dalam setiap
interaksi yang terjadi pada pelaksanaan VC. Dengan
kata lain, kolaborasi akan dapat meningkatkan
kecepatan maupun kapasitas pembelajar dalam
menyerap pemahaman terhadap materi yang
disampaikan oleh instruktur atau pengajar.
a. Breakouts Room
Dalam pelaksanaannya, kolaborasi antar
pembelajar yang diwujudkan dalam bentuk
kelompok atau group dapat difasilitasi dengan
menyediakan breakout room, yaitu space khusus
yang diberikan kepada masing-masing kelompok
untuk mendiskusikan tugas atau project dengan
kelompok mereka sendiri-sendiri. Pada breakout
room, pembelajar dapat mendiskusikan studi kasus
menggunakan whiteboard yang disediakan untuk
mereka tanpa terganggu oleh kelompok lain,
kemudian dapat juga menuliskan hasil brainstorming
atau pendapat akhir mereka terhadap tugas
yang diberikan. Selain itu para pembelajar juga
dapat menggunakan fasilitas audio secara lebih
bebas karena tidak mengganggu kelompok lain. Jika
kemudian instruktur menginginkan masing-masing
kelompok menyampaikan hasil diskusinya, para
pembelajar tidak lagi menggunakan breakout room
dan kembali berinteraksi dengan pembelajar lain
dalam satu antarmuka virtual yang menjadi space
utama.
b. Paired chat
Bentuk kolaborasi yang lain adalah kolaborasi
secara berpasangan, yaitu hanya melibatkan 2 (dua)
pembelajar saja. Berbeda dengan penugasan
kelompok yang melibatkan beberapa pembelajar
sekaligus, metode ini dapat dilaksanakan oleh
instruktur atau pengajar dengan memasangkan 2
(dua) pembelajar dalam suatau penugasan tertentu.
Kemudian 2 (dua) pembelajar tersebut akan
berkolaborasi dan saling berinteraksi melalui paired
chat (chat berpasangan). Bagi pengajar, proses ini
mungkin cukup merepotkan dengan tampilnya
semua respons dari masing-masing pasangan yang
berkolaborasi, namun pada sisi pembelajar mereka
hanya akan melihat pesan yang dikirimkan oleh
pasangan mereka masing-masing.
3.6 Feedback dalam Penugasan
Pemanfaatan teknik dan tool-tool interaktif
seperti telah dijelaskan di atas dapat membuat sesi
pembelajaran menjadi lebih efektif dan dinamis,
namun hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah
pentingnya memberikan fasilitas penyampaian
feedback sebagai salah satu sarana evaluasi proses
pembelajaran. Tanpa adanya feedback, pembelajar
tidak akan mengetahui apakah mereka sudah
menjalankan proses pembelajaran dengan benar atau
belum. Feedback bisa diberikan oleh instruktur
dengan menampilkan jawaban yang benar dari
penugasan atau pertanyaan yang telah diberikan

kepada pembelajar. Feedback juga bisa disampaikan
masing-masing pembalajar kepada pembalajar yang
lain pada saat berinteraksi melalui breakout room
maupun paired chat. Semakin banyak feedback yang
diberikan oleh pengajar maupun pembelajar, maka
proses pembelajaran akan semakin terkontrol dan
lebih berkualitas. Feedback dapat digunakan sebagai
parameter seberapa efektif materi telah tersampaikan
kepada pembelajar, dengan kata lain, melalui
feedback, instruktur dapat melihat sejauh mana
pembelajar menikmati proses pembelajaran dan
seberapa jauh pembelajar memahami materi yang
telah disampaikan (Hyder, 2007).
Feedback juga dapat digunakan instruktur untuk
mengukur seberapa besar kontribusi pembelajar
dalam proses pembelajaran. Beberapa universitas
luar negeri yang telah mengimplemantasikan VC
menjadikan kontribusi pembelajar sebagai salah satu
komponen penting dalam penilaian, sehingga hal itu
memotivasi pembelajar untuk terus berusaha ikut
berkontribusi dan bekerja dengan sungguh-sungguh
dalam setiap penugasan yang diberikan pengajar.
4. VISUALISASI
Pada pelaksanaan VC yang didominasi dengan
pemanfaatan whiteboard, visualisasi grafis
menggunakan gambar sangat diperlukan (Holub,
2008). Materi yang disampaikan dengan hanya
melalui baris-baris paragraf akan sangat tidak
menarik bagi pembelajar. Oleh karena itu, ketika
mengimplementasikan VC, instruktur harus mampu
mengembangkan literatur visual baik melalui
gambar, skema, grafik, diagram, dan sebagainya.
Visualisasi sangat penting untuk menjaga motivasi
pembelajar dalam membaca dan memahami materi
yang disampaikan oleh instruktur atau pengajar.
Salah satu contoh visualisasi yang bisa dilakukan
adalah mengembangkan materi pembelajaran yang
didesain seperti halaman komik sehingga menarik
bagi pembelajar. Minat dan ketertarikan pembelajar
terhadap materi adalah salah satu faktor penting bagi
kesuksesan proses pembelajaran. Jika pembelajar
sudah tidak tertarik terhadap materi yang
disampaikan, tentunya proses pembelajaran tidak
akan berhasil karena pembelajar sudah tidak
termotivasi untuk berinteraksi dengan materi.
Pemilihan teknik dan bentuk visualisasi materi
menjadi sangat penting untuk menjamin
kelangsungan sebuah VC.
4.1 Fasilitas Visualisasi pada Virtual
Classroom
Gambar 7 menunjukkan fitur-fitur yang tersedia
pada VC yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan
visualisasi materi pembelajaran . Tidak semua
sistem synchronous e-Learning memiliki
keseluruhan fitur tersebut. Beberapa fitur seperti
whiteboard dan application sharing dapat berperan
sebagai tool interaksi sekaligus tool visualisasi.
Gambar 7. Berbagai macam tools yang bisa
dimanfaatkan untuk visualisasi (Hyder, 2007)
a. Whiteboard
Instruktur dapat menggunakan whiteboard untuk
menuliskan pesan atau menggambar secara
langsung, namun akan jauh lebih baik jika instruktur
terlebih dahulu menyiapkan slide PowerPoint yang
dapat ditampilkan dalam proses pembelajaran. Space
yang dialokasikan untuk whiteboard hanyalah
sebagaian dari layar yang tertampil, sehingga sebisa
mungkin visualisasi yang akan ditampilkan dibuat
tidak boleh terlalu rumit, terlalu besar, terlalu
kompleks sehingga membuat pembelajar kesulitann
dalam melihat dan memahami materi tersebut.
Gambar 8 menunjukkan contoh visualisai yang
kurang menarik, yaitu menampilkan banyak tulisan
yang terlalu kecil (size violation) sehingga membuat
visualisasi tidak berjalan dengan efektif.
Gambar 8. Contoh visualisasi pada whiteboard yang
menyulitkan pembelajar untuk membaca text yang
ditampilkan (Holub, 2008)
b. Web cam
Penggunaan web cam di sini adalah
memanfaatkan web cam untuk melakukan
dokumentasi, yaitu menampilkan sebuah dokumen
atau hal lain yang tidak bisa ditampilkan melalui
whiteboard, misalnya demo sebuah ketrampilan
yang dilakukan oleh pengajar. Namun web cam juga
dapat dimanfaatkan untuk melakukan fungsi

monitoring terhadap sikap dan atensi para
pembelajar selama proses pembelajaran melalui VC
berlangsung.
c. Application Sharing, Multi-media, Web tours
Sejak dikembangkannnya konsep Graphical
User Interface (GUI), aplikasi bersifat visual,
sehingga application sharing dapat juga dikatakan
sebagai salah satu bentuk visualisasi. Bentuk
visualisasi yang lain adalah dengan menggunakan
animasi dan video yang dapat dijalankan oleh
pengajar pada multimedia window. Selain itu,
instruktur atau pengajar juga dapat menggunakan
metode web tour untuk melakukan visualisasi
kepada pembelajar, yaitu pembelajar hanya perlu
menonton ketika pengajar mengakses suatu
halaman web yang terait dengan topik yang sedang
dibahas.
4.2 Tipe Visualisasi
Beragam fasilitas visualisasi yang disediakan
pada VC memungkinkan pengajar menampilkan
berbagai jenis visualisasi. Secara umum terdapat 3
(tiga) jenis fungsi komunikasi dari sebuah
visualisasi, yaitu (Hyder, 2007):
a. Decorative visual, yaitu bentuk visualisasi yang
ditujukan untuk memperindah tampilan materi
atau hanya sekedar menambahkan humor
sebagai selingan. Yang perlu diingat adalah
pengajar tidak boleh menampilkan visualisasi
yang bersifat dekoratif secara berlebihan karena
dapat mengganggu para pembelajar untuk
dapat fokus pada pesan yang terdapat pada
materi pembelajaran.
b. Representational visual, yaitu bentuk visualisasi
yang berkaitan langsung dengan materi
pembelajaran yang sedang disampaikan oleh
instruktur. Contoh visualisasi jenis ini adalah
foto, screen capture dari suatu perangkat lunak,
ilustrasi produk atau peralatan yang relevan
dengan topik pembicaraan, dan lain-lain.
c. Explanatory visual, yaitu bentuk visualisasi yang
menggambarkan suatu hal yang tida bisa dilihat
secara nyata pada kehidupan sehari-hari.
Contoh dari visualisasi jenis ini adalah diagram
venn,line graphs, bar charts, pie charts, dan
lain-lain. Gambar 9 menunjukkan explanatory
visual yang diwujudkan dalam bentuk flow
chart yang menggambarkan alur proses suatu
penugasan. Tampak bahwa flow chart tersebut
ditampilkan dalam bentuk yang sederhana
namun bekerja secara efektif dan efisien
dibandingkan jika instruktur harus menjelaskan
secara verbal.
Gambar 9. Contoh visualisasi flow chart secara
online (Clark, 2008)
5. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa
hal berikut:
a. VC adalah salah satu metode pembelajaran
berbasis synchronous e-Learning yang dapat
diimplementasikan dengan memadukan
keunggulan interaksi langsung dan
pemanfaataan teknologi virtual.
b. VC dapat berjalan dengan baik jika interaksi
dan kolaborasi di antara pihak yang terlibat
(yaitu pengajar maupun pembelajar) berjalan
secara terkendali dan dinamis..
c. Pada pelaksanaannya, VC menawarkan beragam
teknik dan tool yang dapat dimanfaatkan untuk
melakukan interaksi dan kolaborasi selama
proses pembelajaran berlangsung.
d. Untuk menjaga kualitas dan kontrol terhadap
proses pembelajaran pada VC yang dijalankan,
pengajar harus dapat memilih metode dan tool
visualisasi yang tepat agar dapat menjaga
motivasi pembelajar untuk terus berkontribusi
dan berinteraksi dengan materi yang
disampaikan oleh instruktur atau pengajar.
e. Pengimplementasian VC menawarkan peluang
yang sangat menjanjikan untuk pengembangan
suatu model pembelajaran baru yang lebih
menarik, interaktif, dinamis, hi-tech, dan
terkendali.

sumber: http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/viewFile/1221/1009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar